Hukum Golput & Ikut Mencoblos dalam Pemilu
Untuk menentuka hokum masalah ini, kita harus melihat kondisi hokum negara tersebut terlebih dahulu, yang secara garis besar bisa dibagi menjadi dua:
- Pertama, Negara yang murni menerapkan hokum Islam.
Semua anasirnya berjalan sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT, baik undang-undangannya, aturan-aturannya, dan sebagainya. Kemudian, para Calon Pejabatnya pun memenusia syarat yang sudah ditetapkan oleh syariat, seperti al-Ilm (ada Ilmu), al-Adalah (bagus agamanya), al-Ra’y (punya ide dan pandangan), dan al-Hikmah (memiliki kebijaksanaan).
Dalam kondisi seperti ini, tidak masalah Anda ikut Mencoblos dalam pemilu. Halal. Bahkan, wajib.
Agar amanah tersampaikan kepada orang yang berhak memikulnya, agar tugas besar ini dijalankan oleh orang yang layak menjalankannya. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَىٰ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ ۚ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (Surat al-Nisa: 58)
Di antara bentuk amanah itu adalah memberikan tongkat kepemimpinan kepada ahli ilmu, ahli iman, dan ahli dalam kepemimpinan.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
فإذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة، قال: كيف إضاعتها؟ قال: إذا وسد الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة
“Jikalau amanah diabaikan, maka tunggulah kiamat. “
Ada yang bertanya:
“Bagaimana mengabaikannya?”
Beliau menajwab:
“Jikalau urusan diserahkan bukan kepada ahlinya. Maka, tunggulah kiamat.” (HR Ahmad dan al-Bukhari)
Sekali lagi… Ingat, sekali lagi; Dalam kondisi seperti ini, wajib hukumnya mencoblos dalam pemilu.
- Kedua, Negara yang system hukumnya tidak Islami atau menafikan Islam.
Seperti Negara Komunis, Atheis, Demokrasi, atau system-sistem lainnya yang tidak menganut system Islam 100 persen, atau malah menafikan Islam.
Dalam kondisi seperti ini, hokum asalnya seorang Muslim tidak boleh ikut mencoblos, atau dalam bahasa lainnya wajib Golput karena keikutsertaannya mengandung banyak kejangalan dalam syariat, seperti tunduk kepada orang-orang yang zalim, mencampuradukkan antara yang hak dengan yang batil, tidak ada nilai iman dan sudah sama saja dengan nilai kekufuran.
Allah SWT melarangnya dalam firman-Nya:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam." (Surat al-Nisa: 140)
Kemudian firman-Nya:
هُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَصَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْهَدْيَ مَعْكُوفًا أَنْ يَبْلُغَ مَحِلَّهُ ۚ وَلَوْلَا رِجَالٌ مُؤْمِنُونَ وَنِسَاءٌ مُؤْمِنَاتٌ لَمْ تَعْلَمُوهُمْ أَنْ تَطَئُوهُمْ فَتُصِيبَكُمْ مِنْهُمْ مَعَرَّةٌ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۖ لِيُدْخِلَ اللَّهُ فِي رَحْمَتِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ لَوْ تَزَيَّلُوا لَعَذَّبْنَا الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
Merekalah orang-orang yang kafir yang menghalangi kamu dari (masuk) Masjidil Haram dan menghalangi hewan korban sampai ke tempat (penyembelihan)nya. Dan kalau tidaklah karena laki-laki yang mukmin dan perempuan-perempuan yang mukmin yang tiada kamu ketahui, bahwa kamu akan membunuh mereka yang menyebabkan kamu ditimpa kesusahan tanpa pengetahuanmu (tentulah Allah tidak akan menahan tanganmu dari membinasakan mereka). Supaya Allah memasukkan siapa yang dikehendaki-Nya ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka tidak bercampur-baur, tentulah Kami akan mengazab orang-orang yag kafir di antara mereka dengan azab yang pedih." (Surat al-Fath: 25)
Antara Maslahah dan Mafsadah
Hukum di atas dalam hokum dasar. Dalam kondisi normal. Ada kaedah yang menjelaskan begini: al-Hukm Yadùru ma’a al-Illah; wujùdan wa ‘adaman. Hukum itu berjalan sesuai dengan sebabnya; ada maupun tiada.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, kondisinya tidaklah seperti di atas. Indonesia bukan murni Negara Islam,dan bukan pula Negara yang menafikan Islam. Dengan berdasarkan Pancasila, konstitusi kita sebenarnya siap menerima hokum apa saja yang bermanfaat bagi Negara, termasuk hokum Islam. Apalagi Indonesia ini adalah salah satu negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.
Makanya, sebagian ulama, terutama ulama kontemporer, membolehkan bahkan mewajibkann umat Islam untuk ikut serta mencoblos dalam pemilu, dan tidak golput.
Agar bisa menerapkan kemaslahatan bagi Islam dan umat Islam, agar bisa meminimalisir kebatilan dan kejahatan yang ada disana. Sebab, Negara itu bukan saja berkaitan dengan satu orang dua orang, tapi jutaan anak manusia, jutaan umat Islam.
Syeikh al-Islam Ibn Taimiyah menjelaskan dalam Kitabnya Majmu al-Fatāwa (20/ 48):
“Jikalau dua kewajiban saling berbenturan, tidak mungkin dikumpulkan keduanya, maka didahulukan kewajiban yang paling kuat. Jenis yang satu lagi tidak disebut lagi wajib, dan orang yang meninggalkannya, tidak disebut meninggalkan hal yang wajib. Begitu juga halnya jikalau berkumpul dua hal yang diharamkan, tidak mungkin meninggalkan jenis haram paling besarnya kecuali dengan mengerjakan yang paling ringannya, maka mengerjakan yang paling ringan, sebenarnya, dalam hal ini tidak bisa disebut haram. Walaupun perbuatan tersebut dinamakan “meninggalkan wajib” atau yang satu lagi dsebut “melakukan yang haram”. Itu semali tidak berpengaruh. Dalam hal dikenal dengan: “meninggalkan yang wajib karena uzur, dan melakukan yang haram karena maslahat yang kuat atau karena darurat atau menolak sesuatu yang lebih haram.”
Dalam masalah ini, bisa direnungkan kisah Nabi Yusuf Alaihissalam. Bagaimana beliau menjadi Bendahara Negara di Kerajaan Mesir, yang rajanya dan penduduknya adalah orang kafir. Bahkan, beliau sendiri yang meminta jabatan itu. Tujuannya jelas, agar mampu menerapkan kemaslahatan bagi orang banyak, dan sekaligus menjadi lahan dakwah bagi semuanya.
Kisah ini diceritakan dalam al-Quran:
وَلَقَدْ جَاءَكُمْ يُوسُفُ مِنْ قَبْلُ بِالْبَيِّنَاتِ فَمَا زِلْتُمْ فِي شَكٍّ مِمَّا جَاءَكُمْ بِهِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا هَلَكَ قُلْتُمْ لَنْ يَبْعَثَ اللَّهُ مِنْ بَعْدِهِ رَسُولًا ۚ كَذَٰلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ مُرْتَابٌ
Dan sesungguhnya telah datang Yusuf kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan, tetapi kamu senantiasa dalam keraguan tentang apa yang dibawanya kepadamu, hingga ketika dia meninggal, kamu berkata: “Allah tidak akan mengirim seorang (rasulpun) sesudahnya. Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang melampaui batas dan ragu-ragu." (Surat Ghafir: 34)
Dalam ayat lainnya dijelaskan:
“Hai kedua temanku dalam penjara, manakah yang baik, rabb-rabb yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Mahaesa lagi Mahaperkasa. Kamu tidak beribadah kepada yang selain Allah kecuali hanya (beribadah kepada) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu, Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Allah telah memerintahkan agar kamu tidak beribadah kepada selain Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Surat Yusuf: 39-40) []