Antara Kelapangan dan Kesempitan
الْعَارِفُوْنَ إِذَا بُسِطُوْا أَخْوَفُ مِنْهُمْ إِذَا قُبِضُوْا, وَلَا يَقِفُ عَلَى حُدُوْدِ الْأَدَبِ فِي الْبَسْطِ إِلَّا قَلِيْلٌ
“Orang-orang Arif lebih takut jikalau dilapangkan daripada disempitkan. Tidak ada yang mampu menjaga batasan-batasan adab ketika lapang, kecuali sedikit.”
(Ibn Athaillah al-Sakandari)
[Kitab al-Hikam karya Ibn Athaillah al-Sakandari]
Orang-orang yang Arif lebih takut menghadapi kekayaan daripada kemiskinan. Dalam kehidupan sehari-hari Anda bisa menyaksikan, jutaan kaum muslimin yang tergelincir dalam jurang kemaksiatan karena rayuan harta. Seseorang yang dulu shaleh dan rajin ke Mesjid, tiba-tiba kehidupannya berubah 180 derajat. Tidak mau ke Mesjid, bahkan cenderung menjauhi. Seseorang yang dulunya rajin berdakwah dan beribadah, sekarang harus larut dalam kefuturannya dan kelalaiannya, karena tuntunan harta selalu membuatnya sibuk.
Berbeda halnya dengan kemiskinan. Di satu sisi, ia memang mendekatkan kepada kekufuran; sebagaimana sabda Rasulullah Saw. Namun di sisi lain, jikalau keimanan kuat, keadaan justru lebih akan mendekatkan kepada-Nya. Seorang yang hidup sempit dan menderita, lebih besar kemungkinan mendekatkan diri kepada-Nya, karena ia merasa hina dan butuh kepada-Nya.
Semenjak zaman dahulu sampai sekarang ini, masih menjadi perdebatan hebat di antara para ulama tentang siapa yang paling mulia di sisi-Nya: Orang kaya yang bersyukur atau orang miskin yang bersabar.
Masing-masing kelompok ini memiliki kedudukan istimewa di sisi-Nya. Selama orang kaya mau mensyukuri nikmat-Nya, yaitu dengan mengeluarkan zakatnya dan memamfaatkannya di jalan kebenaran, tentu ia akan mendapatkan keutamaan di sisi-Nya. Di sisi lain, jikalau seorang miskin mampu bersabar menghadapi kesempitan hidupnya, tentu ia layak menempati surga Ar-Rahman.
Namun ada satu hal yang bisa memuliakan orang kaya yang bersyukur, yaitu ketika ia bisa melakukan semua ibadah yang dilakukan oleh orang miskin, seperti shalat, zikir, puasa dan sebagainya, plus ia bisa menyumbangkan hartanya di jalan-Nya. Dan point terakhir ini tidak bisa dilakukan oleh orang miskin.
Intinya, apapun yang menimpa Anda, baik kelapangan maupun kesempitan, maka bersikap bijaklah. Jikalau lapang, jangan sombong dan terlena. Jikalau sempit, maka janganlah putus asa. Kembalilah kepada-Nya, karena itulah adalah sebaik-baik tempat kembali.