Hukum & Pentingnya Menjaga Lisan (Hifdz al-Lisān)
Lisan itu bahasa Arab. Sudah familiar dalam Bahasa Indonesia. Artinya lidah. Tidak bertulang. Namun lebih tajam dari pedang. Jikalau pedang hanya melukai,kemudian keluar darah, diobati, kemudian sembuh. Lisan tidak begitu. Jikalau dilukai oleh lisan. Lukanya dalam dan tidak terlihat. Walaupun sudah berusaha diobati dengan kata maaf, namun lukanya tidak akan sembuh. Sakitnya mungkin meredam, Namun, suatu hari nanti akan kambuh kembali.
Hukum menjaganya wajib. Lazim. Banyak darah yang tumpah karena lisan yang tidak terjaga. Gara-gara bercanda yan tidak pada tempatnya, akhirnya pisau menancap di dada. Gara-gara sebutan yang tidak selayaknya, peluru sampai bersarang di kepala. Banyak sekali kasus yang berawal dari lisan ini.
Maka, berhati-hatilah dengan lisan. Penting Hidzul Lisan atau menjaga lidah ini.
Lidah memang tidak bertulang, namun ketajamannya tidak bisa Anda bandingkan dengan pedang atau sejenisnya. Jikalau pedang hanya bisa membuat luka fisik, namun lidah mampu membuat luka dalam, yang tentunya kesembuhannya jauh lebih susah dari yang pertama.
Hadits-Hadits Rasulullah Saw Tentang Menjaga Lisan (Hifdz al-Lisān)
Ada sejumlah hadits yang menjelaskan mengenai lisan ini. Kita akan memaparkan dalam tulisan ini beberapa di antaranya.
Rasulullah Saw bersabda:
“Sebahagian besar kesalahan anak Adam berada di lisannya.” [Diriwayatkan oleh At-Thabrany dan Ibn Abi Ad-Dunya]
Semakin banyak Anda berbicara, maka semakin banyak kesalahan Anda. Makanya, kata pepatah “diam itu emas.” Bukan berarti diam terus, ya! Adakalanya kita harus berbicara menyampaikan pendapat, apalagi jikalau statusnya darurat; wajib; kudu dilakukan. Hanya saja, dalam status tidak perlu, santai, banyak bicara akan membuat diri seringkali jatuh ke dalam jurang masalah.
Dalam hadits lainnya dijelaskan:
مَن كان يؤمن بالله واليوم الآخر، فليقُلْ خيرًا أو ليصمُتْ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ucapkanlah kebaikan atau diam.” [Muttafaq Alaihi]
Imam al-Syafii mengatakan:
“Jikalau seseorang ingin berbicara, maka hendaklah ia berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara. Jikalau memang ada maslahatnya, maka ia silahkan berbicara. Jikalau ragu, maka tidak usaha berbicara sampai tampak ada maslahatnya.” (Kitab al-Azkar: 114)
Dalam bahasa lainnya, mungkin bisa kita katakana, orang yang asal bicara saja, asal melambe saja, tanpa memikirkan dahulu apa yang akan diucapkannnya, maka keimanannya yang ada di dalam hatinya perlu dipertanyakan.
Rasulullah Saw bersabda:
مَن يضمن لي ما بين لَحْيَيْهِ وما بين رِجْليه أضمن له الجنة
“Siapa yang menjamin bagiku apa yang ada di antara dua jenggotnya (kumis & jenggot) dan apa yang ada di antara kedua kakinya, maka saya menjamin surge baginya.” (HR al-Bukhari)
Di antara kumis dan jenggot itu adalah mulut. Dalam mulut itu ada lisan. Lisan itu lunak, tidak bertulang. Namun dosa yang dilahirkannya bisa banyak, sebagaimana pahala yang didapatkannya juga bisa banyak. Maka, mengarahkan lisan untuk selalu berada di jalan Allah SWT adalah sebuah kewajiban, sebagaimana wajibnya menjaga apa yang ada di antara kedua kaki dari dosa dan perzinaan.
Pada suatu hari, Musa Al-Asyary bertanya kepada Rasulullah Saw:
“Muslim manalah yang lebih baik?”
Beliau menjawab:
مَن سلِم المسلمون من لسانه ويده
“Orang yang kaum muslimin selamat dari lisannya dan tangannya.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari]
Ya, banyak yang mengaku muslim, namun lidahnya tajam. Tidak ada satu orang pun yang berbicara dengannya, kecuali akan luka; sakit hati. Muslim yang hakiki adalah muslim yang mampu menjaga lisannya melukai batin orang lain, dan menjaga tangannya menyakiti lahir.
Uqbah bin Amir bertanya kepada Rasulullah Saw:
“Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu?”
Beliau menjawab:
أمسِكْ عليك لسانك، وليسَعْك بيتك، وابكِ على خطيئتك
“Tahanlah lisanmu, maka rumahmu akan lapang, dan tangisilah kesalahanmu.” [Diriwayatkan oleh At-Turmudzi]
Hasan Al-Bashry meriwayatkan perkataan para sahabat, “Lisan seorang mukmin berada di belakang hatinya. Jikalau ia ingin bicara, maka ia memikirkannya dengan hatinya dan disampaikan dengan lisannya. Dan lisan orang munafik berada di hadapan hatinya. Jikalau ia ingin bicara, maka ia menyampaikannya dengan lisannya dan tidak memikirkan dengan hatinya.” [Diriwayatkan oleh Al-Kharaithy]
Imam An-Nawawi Rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa seorang mukallaf harus menjaga lisannya dari semua pembicaraan, kecuali pembicaraan yang menampakkan kemaslahatan. Jikalau maslahah dan mudharatnya sama, maka meninggalkannya lebih utama.”
Bahaya Lisan (Afāt al-Lisān)
Ada beberapa bahaya yang bisa ditimbulkan oleh lisan, yang harus Anda hindari dalam kehidupan sehari-hari:
1-Ghibah
Ghibah atau gunjing adalah menyebut muslim lainnya dengan sesuatu yang dibencinya, baik berkaitan dengan agamanya, dunianya maupun badannya, atau berkaitan dirinya, atau bentuknya, atau akhlaknya, atau berkaitan dengan anaknya, atau bapaknya, atau hartanya, atau istrinya, atau pelayannya, atau budaknya, atau berkaitan dengan pakaiannnya, cara jalannya, senyumannya, keceriaannya, dan lain-lain, baik Anda menyebutnya dengan lafadz, atau isyarat, atau tulisan, atau media-media komunikasi lainnya.
Pada suatu hari, Rasulullah Saw bertanya kepada para sahabatnya:
أتدرون ما الغِيبة؟
“Apakah kalian mengetahui apa itu ghibah?”
Mereka menjawab;
الله ورسوله أعلم
“Allah Swt dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.”
Beliau berkata:
ذكرك أخاك بما يكره
“Menyebut saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya.”
Mereka bertanya:
أفرأيت إن كان في أخي ما أقول؟
“Bagaimana pendapatmu jikalau saya mengatakan apa yang ada pada dirinya?”
Beliau menjawab:
إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته، وإن لم يكن فيه فقد بهَتَّه
“Jikalau apa yang engkau katakan itu ada dalam dirinya, maka engkau telah mengghibahnya. Jikalau tidak, maka engkau telah melakukan kebohongan besar.” [Diriwayatkan oleh At-Turmudzi]
Ada tiga point utama dalam hadits di atas:
Pertama, Ghibah atau gunjing itu artinya menyebut saudara Anda atau muslim lainnya dengan sesuatu yang memang ada pada dirinya. Lucunya, seringkali kita dengar pelaku Ghibah berkata, “Ini bukan Ghibah, ya.” Terus ia berkata ini dan itu tentang si Anu. Ya, itu Ghibah namanya. Jikalau mengatakan yang tidak benar, itu namanya fitnah. Hihi…
Kedua, Jangan ikut serta dalam pergunjingan atau ghibah.
Ini juga sering kita langgar. Bukannya meredakan suasana, malah ikut nimbrung nambahin. Hedeh… Itu mah sama saja ikut menambah dosa yang sudah bertumpuk-tumpuk. Lama-lama nanti bicaranya akan kemana-mana, menyebut ini itu yang seharusnya tidak dibahas.
Ketiga, Kalau sudah ikut Ghibah atau Gunjing, setelah tinggalkan.
Jikalau sudah terlanjur ikut Ghibah atau Gunjing, segera istighfar, taubat. Jangan malah nambahin lagi. “tanggung,” katanya. Hehe.. Istighfar. Mohon ampun Allah SWT. Jauhkan diri Anda segera dari perbuatan tidak baik ini.
2-Namimah
Namimah adalah adu domba, yaitu menyampaikan perkataan seseorang kepada orang lainnya dengan tujuan menimbulkan khusumat di antara mereka.
Kedua perbuatan ini diharamkan dalam Islam, dan merupakan Ijma’ umat. Banyak sekali dalil yang menunjukkan hal ini dalam Al-Quran dan Sunnah, seperti firman Allah Swt:
“Janganlah sebahagian kalian mengghibah sebahagian lainnya.” [Al-Hujarat: 12]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (Surat al-Hujurat" 112)
Dan Rasulullah Saw bersabda:
لا يدخل الجنة نمام
“Tidak ada pernah masuk surga, seseorang yang suka mengadu domba.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim]
Jadi, marilah menjaga lisan. Banyak keutamaan dan fadilah, dan manfaat di balik penjagaannya. Susah memang. Tapi disitulah ujiannya. Manusia itu makhluk social, yang tidak bisa menahan dirinya untuk tidak berbicar. Apalagi wanita. Jangan ditanya. []